Preseden Buruk, Rekomendasi Bawaslu Musi Rawas Tidak Digubris KPU Musi Rawas

Foto : Aktivis Kepemiluan yang juga seorang Pengamat, Koordinator Akademi Pemilu Demokrasi, mantan Komisioner Bawaslu Musi Rawas, Khoirul Anwar. (ist)



MUSI RAWAS - Kasus dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di Kabupaten Musi Rawas yang ramai menjadi perbincangan mendapat perhatian serius dari aktivis kepemiluan.

Adalah Khoirul Anwar, aktivis kepemiluan yang juga seorang pengamat dan pernah menjabat sebagai Komisioner Bawaslu Musi Rawas.

Pria yang juga Koordinator Akademi Pemilu Demokrasi di Musi Rawas itu menyampaikan, terkait penanganan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Lembaga Adhoc dibawah KPU pada tahapan Pemilu dan Pilkada serentak, terdapat problematika dalam penaganan dan tindaklanjutnya. Dimana KPU sendiri sekarang telah memiliki juknis sendiri dalam penanganan pelanggaran kode etik.

Sebelumnya, penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diproses oleh lembaga Dewan Kode Etik Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sejak berlakunya UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terdapat peraturan baru baik PKPU maupun Perbawaslu, dimana pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Lembaga Adhoc dibawah KPU dan Bawaslu ditangani langsung oleh KPU Kabupaten/Kota dan Bawaslu Kabupaten/Kota.

"Seperti KPU memiliki PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, turunannya adalah Keputusan KPU Nomor 337 Tahun 2020 tentang Juknis Penanganan Pelanggaran Kode Etik lembaga Adhoc dibawah KPU. Sedangkan Bawaslu memiliki Perbawaslu Nomor 4 Tahun 2019 tentang Mekanisme Penanganan Pelanggaran Kode Etik pengawas adhoc," ujar pria eks Komisioner Bawaslu Musi Rawas periode 2018-2023 itu, Minggu (11/08/2024).

Disisi lain, beber Khoirul, UU Pemilu dan UU Pilkada memberikan kewenangan kepada Bawaslu Kabupaten untuk menangani segala pelanggaran Pemilu dan Pilkada. Terdapat empat Jenis pelanggaran yang menjadi kewenangan Bawaslu Kabupaten/Kota, antara lain pelanggaran administrasi, pelanggaran tindak pidana pemilu/pilkada, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan terakhir adalah pelanggaran peraturan lainnya. Pelanggaran peraturan lainnya ini semisal pelanggaran netralitas ASN, TNI/Polri.

"Dari aturan tersebut lah yang dapat menyebabkan problem dalam penanganan pelanggaran kode etik Lembaga Adhoc dibawah KPU Kabupaten/Kota. Dalam kasus ini dimana Bawaslu Kabupaten Musi Rawas melalui Panwascamnya telah benar menindaklanjuti laporan masyarakat adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh oknum PPK," bebernya.

"Karena berdasarkan UU Pemilu dan Pilkada, Bawaslu wajib menindaklanjuti laporan pelanggaran Pilkada yang secara teknis penanganannya dilakukan berdasarkan Perbawaslu Nomor 8 tahun 2020 tentang penanganan pelanggaran. Pada akhirnya Panwascam menyimpulkan bahwa laporan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh oknum PPK terbukti dan outputnya adalah rekomendasi," imbuhnya.

Menurutnya, rekomendasi pengawas pemilu adalah sakral, karena prosesnya dipastikan telah melalui rangkaian sesuai dengan peraturan. Artinya, pengawas pemilu telah melakukan serangkaian proses penanganan pelanggaran secara komprehensif yang pada akhirnya memutuskan rekomendasi.

"Rekomendasi harus dapat dipertanggungjawabkan oleh pengawas pemilu dalam hal ini Bawaslu Musi Rawas. Baik itu dikeluarkan oleh Panwascam ataupun dari Bawaslu Kabupatennya. Pengalaman saya sejak menangangi kasus pelanggaran pemilu, beberapa kali memutuskan rekomedasi pelanggaran kode etik, baik kode etik pelanggaran ASN maupun Lembaga Adhoc KPU yang tindaklanjutnya adalah selaras dengan keputusan rekomendasi," katanya.

Terhadap kasus pelanggaran kode etik ini, ia menilai rekomendasi Bawaslu Kabupaten Musi Rawas tidak digubris oleh KPU Kabupaten Musi Rawas, dimana itu merupakan preseden buruk, karena rekomendasi terkait putusan pelanggaran itu adalah mahkotanya lembaga Bawaslu.

"Semestinya kedua pemimpin lembaga ini dapat mendiskusikan dengan baik, keduanya harus saling berkoordinasi terkait penanganannya. Karena kasus ini tidak pertama kali di Musi Rawas," tegasnya.

Ia bercerita, semasa menjabat di Bawaslu Musi Rawas pernah menangani kasus serupa dan hasilnya rekomendasi Bawaslu di tindaklanjuti oleh KPU, yang hasilnya KPU memberhentikan oknum PPS pada saat itu, sehingga jangan sampai rekomendasi dari pengawas pemilu sebatas menggugurkan kewajiban pengawas pemilu yang telah menangani laporan.

"Sejatinya rekomendasi ini tetap dikawal ke KPU Musi Rawas, dikoordinasikan oleh masing-masing pimpinan, dikawal sejauh mana KPU menindaklanjutinya. Pada intinya Bawaslu memastikan bahwa rekomendasi ini telah benar dan dikaji secara komprehensif, didukung bukti formil dan materilnya," ungkapnya.

Khoirul meyakini, jika ada koordinasi baik antara KPU Musi Rawas dan Bawaslu Musi Rawas, Bawaslu juga memahami aturan KPU, dimana KPU juga memiliki aturan yang sangat mirip penangannya dengan Bawaslu.

"Tidak akan terjadi saling menyalahkan keputusan KPU. Perlu diketahui, Keputusan KPU Nomor 337/2020 tentang Teknis penanganan Pelanggaran Kode Etik Adhoc, KPU Kabupaten memerlukan klarifikasi dalam penanganannya. Jika pun pengawas pemilu diminta untuk menjadi pelapor semestinya bukan persoalan. Dalam hal ini dapat dimaknai oleh pengawas pemilu untuk meyakinkan kepada KPU, bahwa rekomendasi tersebut telah kuat berdasarkan kajian hukum serta didukung saksi dan bukti," jelas dia.

"Karena KPU memutuskan pelanggaran kode etik juga dituntut didukung oleh alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau tulisan, petunjuk dan keterangan para pihak pada saat mereka klarifikasi," sambungnya.

Lebih lanjut, sederhananya, sama halnya ketika Bawaslu Kabupaten menerima laporan terkait pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh KPU Kabupaten, yang mana hasilnya adalah melanggar kode etik dan selanjutnya Bawaslu meneruskan ke DKPP. Disini posisi Bawaslu nantinya akan dijadikan sebagai Pelapor oleh DKPP. Jadi hampir sama posisinya, namun yang pelanggaran etik Lembaga Adhoc, KPU Kabupaten/Kota dapat mengadili sendiri.

Selanjutnya, terkait keputusan KPU Kabupaten Musi Rawas nomor 687 tahun 2024 tentang Hasil Sidang Pemeriksaan tentang dugaan pelanggaran Kode Etik oleh oknum PPK, jika KPU berpedoman pada Keputusan KPU Nomor 337/2020, semestinya KPU Musi Rawas memutuskan sanksi jika bersalah berupa sanksi tertulis atau pemberhentian tetap. Hanya dua putusan itu pilihannya, tidak ada istilah sanksi peringatan.

Jika pun gugur laporannya karena alasan pelapor tidak hadir, maka keputusan KPU adalah pelanggaran tidak terbukti, tidak perlu ada istilah lain lagi.

"Jadi kesimpulan pandangan saya pada case ini, baik KPU Musi Rawas dan Bawaslu Musi Rawas jika menerima laporan terkait pelanggaran kode etik, harus ditelaah dan dikawal dari hulu sampai hilir, sehingga kedua lembaga yang pada hakekatnya sama-sama penyelenggara pemilu bisa menyamakan persepsi dalam penanganan kasusnya, karena kedua lembaga ini memiliki aturan yang berbeda namun tujuan akhirnya sama," terangnya.

Ia berpesan, KPU Musi Rawas tidak harus mengandalkan laporan saja, perlu dilakukan pengawasan internal secara aktif terkait adanya informasi dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh jajarannya, sehingga KPU Musi Rawas terjaga moral, integritas dan profesionalnya.

Lebih jauh, terkait penerusan laporan ke DKPP, katanya sangat memungkin, apalagi Bawaslu yang melaporkan, asalkan didukung minimal dua alat bukti seperti saksi dan bukti lainnya, termasuk hasil kajian Bawaslu.

"DKPP sangat terbuka terhadap laporan masyarakat, apalagi Bawaslu yang melaporkan," tukasnya.

(Gpz)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama