LUBUKLINGGAU - Maraknya pungutan di satuan pendidikan terkait kebutuhan realisasi program-program, renovasi dan pembangunan gedung, pembelian buku pendamping dan seragam sekolah khususnya di Kota Lubuklinggau mendapat perhatian dari pengamat pendidikan.
Fauzan Hakim, seorang pemerhati pendidikan, mengatakan hal itu pada praktiknya dilakukan melalui pungutan liar. Hal itu dapat dilihat dari adanya pengaduan masyarakat di beberapa satuan pendidikan, salah satunya terjadi di MAN 2 Kota Lubuklinggau yang telah dilaporkan ke Kejaksaan setempat.
Pengaduan mengenai pungutan dimaksud menunjukkan bahwa adanya satuan pendidikan di beberapa Kabupaten/Kota yang dilaporkan berkenaan dugaan maladministrasi, penyimpangan prosedur. Beberapa hal diantaranya adanya sumbangan yang ditentukan jangka waktu dan nominal yang memberatkan yang orang tua/wali siswa seperti pembelian seragam sekolah, pengadaan atau pembelian buku pendamping siswa, bahkan adanya intimidasi kepada orang tua/wali yang menyampaikan laporan.
Dijelaskannya, kata pungli menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan akronim ataupun singkatan dari kata pungutan liar, yang berarti tindakan meminta sesuatu berupa uang dan berupa barang kepada seseorang, lembaga lainnya tanpa menuruti peraturan yang lazim.
Secara etimologi, istilah pungli ternyata berasal dari bahasa China, yaitu dari kata "Pung dan Li". Pung artinya persembahan dan Li artinya keuntungan, jadi pungli berarti mempersembahkan keuntungan. Merujuk pada segala bentuk pungutan yang tidak resmi dan tidak memiliki dasar hukum.
"Jauh sebelumnya, KUHP kita telah menamakan Istilah pungli dalam bentuk pemerasan Pasal 368, gratifikasi atau hadiah Pasal 418, serta melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang Pasal 423," jelasnya, Selasa (27/08/2024).
Dari definisi diatas, dapat ditarik pengertian pungli yaitu tindakan melawan hukum dengan maksud menguntungkan diri sendiri melalui pungutan atau penarikan uang atau barang yang bersifat memaksa.
"Berbeda dengan sumbangan. Secara bahasa sumbangan atau derma atau disebut juga donasi adalah sebuah pemberian yang pada umumnya bersifat secara fisik oleh perorangan atau badan hukum, pemberian ini bersifat sukarela, tanpa adanya imbalan bersifat keuntungan kepada orang lain. Seorang pemberi sumbangan dapat disebut sebagai penyumbang, penderma atau donatur," ujarnya.
Dari definisi diatas, dapat dimengerti bahwa pungutan dan sumbangan memiliki perbedaan. Pungutan memiliki ciri-ciri bersumber dari peserta didik atau wali siswa, bersifat wajib dan mengikat, ditentukan jumlah dan ditentukan jangka waktu. Sedangkan sumbangan memiliki ciri-ciri bersumber dari peserta didik, wali siswa, perseorangan atau lembaga lainnya, bersifat sukarela, tidak memaksa dan tidak mengikat, tidak ditentukan jumlahnya dan tidak ada jangka waktu.
Pada umumnya, satuan pendidikan menyangkal melakukan pungutan, dengan dalih yang melakukan pungutan adalah komite sekolah, selanjutnya komite sekolah menyampaikan bahwa yang terjadi adalah sumbangan yang telah mendapatkan kesepakatan dalam rapat pertemuan orang tua/wali siswa, untuk dapat merealisasikan program-program dan kegiatan yang telah disampaikan oleh kepala sekolah.
Dalam hal ini kepala sekolah selaku pemimpin, pemegang kewenangan dalam satuan pendidikan juga turut andil ketika terjadinya pungutan di satuan pendidikan yang dipimpinnya. Hal itu dilakukan saat penyampaian program dalam rapat bersama wali siswa, lalu komite sekolah menyampaikan ke wali siswa tentang program atau keinginan pihak sekolah, sehingga berujung pada kesepakatan-kesepakatan yang dijadikan dasar penarikan sumbangan.
"Terhadap satuan pendidikan yang melakukan penarikan sumbangan yang ditentukan jumlah dan waktunya terhadap orang tua/wali peserta didik dengan dalih atas dasar kesepakatan, dengan nominal dan waktu yang ditentukan tersebut, jelas bertentangan dengan aturan hukum, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 9 ayat (1) Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 jo Pasal 10 Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah," terangnya.
"Dengan demikian, baik ketentuan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 dan Permendikbud 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah hingga Peraturan Menteri Agama nomor 16 tahun 2020 tentang Tugas Komite Madrasah yang melakukan penggalangan dana di satuan pendidikan, tidak boleh membebani dan melibatkan orang tua atau wali murid yang tidak mampu secara ekonomi," imbuhnya.
Komite yang melakukan penggalangan dana, lanjut pria lulusan IAIN Raden Fatah Palembang tahun 1999 itu, hanya boleh menerima sumbangan dari masyarakat, sepanjang dia memenuhi kriteria untuk disebut sebagai sumbangan, yakni bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat dan tidak ditentukan baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya oleh satuan pendidikan.
Ada beberapa bentuk-bentuk pungutan di sekolah, baik pungutan resmi maupun pungutan liar. Pungutan resmi adalah pungutan yang memiliki dasar hukum dan tidak melanggar peraturan yang ada. Sementara pungutan liar adalah pungutan yang tidak memiliki dasar hukum meski telah didahului dengan kesepakatan para pemangku kepentingan. Karena pada dasarnya kejahatan juga bisa dilakukan melalui sebuah kesepakatan dan pemufakatan (pemufakatan jahat).
"Jadi pungutan atau penarikan biaya yang dilakukan oleh pihak sekolah ke wali atau siswa untuk pembelian atau pembayaran seragam, jas atau atribut lain yang sejenis yang tidak didasari peraturan perundangan namun atas kehendak pribadi atau kelompok yang sifatnya memaksa, mengikat dengan nominal dan jangka waktu yang ditentukan dan menguntungkan pihak sekolah, itu dinamakan pungutan liar," jelasnya.
Lalu, bagaimana pungli bisa terjadi? Pungutan liar disekolah terjadi pada semua proses sistem pendidikan, seperti penerimaan siswa baru, masa belajar dan penyelesaian akhir belajar. Dalam hal ini terjadinya pungli disebakan beberapa faktor.
"Salah satunya faktor ekonomi, karena belum seimbangnya antara penerimaan dan pengeluaran oleh para birokrat. Pungutan liar juga disebabkan oleh faktor kultur atau budaya serta perilaku korup, setor-menyetor keatasan yang sudah terbiasa sejak zaman kerajaan dahulu yang dikenal dengan istilah upeti," paparnya.
Kemudian, faktor regulasi yang tidak konsisten dan berubah-ubah juga menjadi faktor terjadinya pungli di dunia pendidikan ini. Selain faktor kesempatan adanya Jabatan atau kewenangan. Jabatan dan kewenangan bisa menyebabkan seseorang melakukan penyimpangan atau pelanggaran. Hal ini selaras dengan watak kekuasaan yang memang cenderung korup.
Faktor lain yang sering luput dari perhatian kita adalah karena sistem atau cara pembentukan komite yang belum memenuhi syarat sehingga belum merupakan representatif (keterwakilan) masyarakat atau wali siswa saat penentuan kebijakan sekolah. Bahwa Pasal 197 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan menyatakan, anggota komite sekolah/madrasah berjumlah paling banyak 15 orang, terdiri atas unsur orang tua/wali peserta didik paling banyak 50%, tokoh masyarakat paling banyak 30%, dan pakar pendidikan yang relevan paling banyak 30%.
Sebab itu, penyelenggara pendidikan dalam hal ini Kepala sekolah, para guru dan komite, cobah introspeksi kembali, apakah pembentukan komite sekolah telah memenuhi ketentuan tersebut. Jangan-jangan pengurus komite tersebut hanya orang dekat yang bisa dikendalikan. Sehingga memungkinkan terjadinya persengkokolan antara pengurus, pihak sekolah dan komite dalam pengelolaan anggaran sekolah termasuk uang BOS, yang sering kita namakan dengan istilah "patgulipat".
"Itulah pentingnya menyertakan orang tua atau wali siswa dalam pembentukan komite, jangan hanya menyertakan orang tua atau wali siswa ketika akan melakukan penarikan dana," tegasnya.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan pungutan atau penarikan biaya yang dilakukan oleh pihak sekolah ke wali atau siswa untuk pembelian atau pembayaran seragam, jas atau atribut lain yang sejenis yang tidak didasari peraturan perundangan namun atas kehendak pribadi atau kelompok yang sifatnya memaksa, mengikat dengan nominal dan jangka waktu yang ditentukan bahkan menguntungkan pihak sekolah atau satuan pendidikan, dinamakan pungutan liar.
Lalu, sumbangan bisa diminta dari orang tua/wali tetapi sifatnya sukarela, tidak untuk seluruh orang tua atau wali. Kendati sumbangan diperbolehkan, tetapi beban tersebut tidak sepenuhnya harus ditanggung oleh orang tua. Selain itu sekolah harus memiliki rencana anggaran kerja tahunan yang sesuai kebutuhan dan tetap mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. Lalu rencana kerja dan anggaran yang dibutuhkan itu harus diketahui dan disetujui oleh Dinas Pendidikan. Selain itu kegiatan penggalangan dana juga perlu disosialisasikan kepada siswa dan orang tua jauh hari sebelumnya.
Artinya, tidak ada kewajiban wali atau peserta didik memberi atau menyumbang ke pihak sekolah, berupa uang ataupun barang dan lainnya apapun alasannya. Jadi sekali lagi, pungutan atau penarikan uang atau lainnya oleh pihak sekolah yang bersifat diwajibkan, itu tidak diperbolehkan kecuali sumbangan yang sifatnya sukarela.
Adapun penyebab terjadi pungli diantaranya, pembentukan komite yang belum memenuhi syarat ketentuan sebagai yang maksud Undang-undang. Orang tua wali siswa jarang dilibatkan kecuali saat penarikan dana. Selain itu kultur dan budaya serta gaya hidup konsumtif atau hedonisme, tuntutan gaya hidup dengan biaya tinggi sementara antara tugas dan penghasilan belum seimbang, juga karena adanya kesempatan "aji mumpung," mumpung ada jabatan dan wewenang. Ditambah lagi dengan sistem pengeloaan anggaran sekolah, baik yang bersumber dari pemerintah ataupun sumber lain yang tidak dikelola secara transparan.
"Dan juga karena belum maksimalnya peran komite, sehingga anggaran pendidikan yang besar dirasa hampir tidak ada manfaat secara signifikan terhadap upaya peningkatan mutu atau kualitas pendidikan. Yang terjadi justru ketimpangan, dimana rakyat kurang mampu selalu dibebani dengan biaya sekolah yang semakin mahal, ditambah dengan banyaknya program-program sekolah yang memberatkan, seperti seragam, jas atau atribut lainnnya.
(*)